Header Ads

Tujuhbelas Agustus di Bawah Moncong Senjata



Era tahun 1999 dan tahun setelahnya gelisah dan  traumanya saya sebagai masyarakat kampung ketika menaikkan bendera merah putih. Pihak TNI/ BKO (bawah kendali operasi) Brimob sendiri kala itu menyuruh (tepatnya memaksa) seluruh masyarakat wajib menaikkan bendera merah putih di depan rumahnya masing-masing. Saat itu umur saya masih kelas 2 SMA. Ketika Darurat Militer (2003), warga masyarakat di paksa mengikuti upacara bendera merah putih oleh serdadu pos-pos tentara BKO ke lapangan kecamatan setempat. Kalau melawan, maka siap-siap di cap sebagai anti pemerintah Indonesia.

Sekarang di mana Hari Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia diperingati oleh banyak masyarakat Indonesia dan masyarakat Aceh yang sudah 9 tahun hidup pasca Perjanjian Damai 15 Agustus 2005 di Helshinki. Masyarakat Indonesia dimanapun berada dengan suasana berbeda memperingati hari kemerdekaan itu penuh suka cita. Cara peringatan hari lahir bangsa Indonesia yang paling lazim dilakukan adalah dengan upacara bendera merah putih, setelahnya diikuti  dengan berbagai macam lomba; panjat pinang, makan kerupuk, tanding sepakbola menggunakan sarung dan tidak ketinggalan tarik tambang. Berbagai kalangan dan berbagai cara merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah berumur 69 tahun. Setengah abad untuk sebuah bangsa yagn diakui di dunia. Lalu apakah kita sudah benar benar merdeka?

Gambaran masa konflik Aceh, seperti pernyataan Azhari Aiyub, seorang Sastrawan Aceh menyebutkan dimana jumlah serdadu lebih banyak daripada sapi, orang Aceh banyak yang meninggal. Sekarang pada masa damai, dimana sapi lebih banyak daripada serdadu orang Aceh juga banyak meninggal. Apa bedanya?

Sebagai bagian dari anak muda tanggung  tinggal di kampung, kami sering mendapat perlakukan kasar dari pihak TNI/Polisi karena tidak bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya dan menghafal Pancasila. Perlakuan kasar yang dialami oleh orang Aceh dengan banyak sebab dan musabab hingga mereka kehilangan orang orang yang mereka cintai, pada anak-anak yang melihat dengan sadis ketika ayahnya dihabisi di depan matanya, para perempuan yang melihat suaminya dikasari oleh serdadu. Tentu ini tak bisa dilupakan sebagai sebuah kegagalan negera dalam melindungi warganya. Kami sebagai Aceh sejak dulu kala telah menjadi bagi yang ikut membangun dan menyumbang untuk republik ini.

Saya lahir dan besar di Gampong Pulo Reudeuep Kecamatan Kutablang, Bireuen. Bagi kalian yang pernah hidup dikampung dan menjadi saksi bagaimana mengerikan kehidupan orang orang di Aceh di kampung saat menghadapi aparat pemerintah, apalagi pada masa peringatan hari tujuh belas agustus. Bagi kalian yang hidup di kota tentu tidak begitu berefek. Masa konflik Aceh dimana peluru dan serdadu saling beradu mempertahankan sebuah tanah paling ujung pulau sumatera ini, Aceh.

69 tahun sudah Indonesia merdeka dari para penjajah. Selanjutnya kita masih belum merdeka dari berbagai persoalan di negeri ini. Saya ingin menulis ini sebagia sebuah review ingatan tentang apa yang saya lihat dan rasakan sewaktu dulu masa konflik di Aceh, khususnya bagaimana cerita tentang begitu besarnya perjuangan orang-orang yang melarang dan menyuruh bendera Indonesia tetap berkibar di depan rumah dan toko masing masing.

Tanggal 17 Agustus diperingati dengan penuh gelisah dan resah oleh masyarakat kampung. TNI dan sejenis serdadu pemerintah Indonesia lainnya menyuruh dan memaksa orang-orang kampung wajib mengibarkan bendera merah putih sejak pukul 6 pagi dan diturunkan pukul 6 sore. Itu sebagai bentuk nasionalisme orang Aceh dan harus cinta NKRI. Jika tidak menaikkan bendera merah putih di depan rumah, maka siap-siap kena popor senjata. Kalian bakal dituduh anti NKRI dan pendukung Gerakan Aceh Merdeka.

Sebaliknya dari pihak GAM melarang orang orang kampung menaikkan bendera merah putih. Kalau menaikkan bendera maka bakal dituduh sebagai bagian mendukung pemerintah Indonesia, artinya tidak mendukung Aceh Merdeka. Ibu saya punya trik dan selalu ada alasan tersendiri agar selamat dari kedua pihak, umumnya memang orang kampung cukup lihat dan terlatih menghadapi kedua kubu yang bertikai. Ibu saya menyimpan bendera merah putih itu dalam sebuah tabung kaca, lalu tabung itu ditanam di dapur. Untuk memudahkan menandai, tabung kaca itu ditanam dibawah meja atau rak piring. Mencari bendera merah putih sangat sulit sekali, ngak ada yang jualan. Harus suruh jahit sama tukang jahit. Itupun harus diam-diam, bagi masyarakat yang penting bisa selamat diri dari kedua pihak, harus punya alasan yang kenapa menaikkan bendera dan kenapa ngak menaikkan bendera.

Tepat pada hari 17 Agustus itu biasanya operasi dari TNI dan BKO Brimob ke desa-desa sangat gencar dilakukan. Kalau di kantor desa/meunasah kampung tersebut tidak menaikkan bendera merah putih, maka Pak Geuchik akan dipanggil menghadap sang komandan operasi pos tentara terdekat. Saya pernah sekali kena pukulan bogem mentah di perut karena ngak bisa hafal lagu Indonesia raya. Saat itu sebuah sore kami disuruh berbaris setelah sebelumnya ada pemeriksaan KTP.

Sekarang damai sudah 9 tahun berlalu, upacara menaikkan bendera merah putih tanpa lagi ada gangguan dan paksaan yang berarti. Inilah satu dari banyaknya hikmah damai bagi Aceh, damai mesti kita jaga dan rawat damai ini untuk pentingan membangun Aceh yang lebih baik, Pemerintah wajib menjaga dan mensejahterahkan rakyatnya. Aceh sekarang sudah dalam genggaman orang orang kita juga, saatnya membangun nanggroe ini. Kalaupun tidak sanggup membangun dengan baik, minimal tidak mencuri hak dan jatah bantuan untuk rakyat dengan memperkaya kroni dan golongannya. Kalau kesempatan ini tidak kita gunakan dengan baik, maka jangan salahkan lagi orang lain yang tidak berlaku pembangunan keadilan bagi negeri syariat islam ini. Salam sebangsa tanah, dan sebangsa air. []
Diberdayakan oleh Blogger.