Header Ads

Seandainya Marx Ikut Kontes Bernyanyi

Mari kita memahami terlebih dahulu hukum dasar ekonomi mengenai laba dan proses pemerolehannya. Pertama, puncak proses produksi harus dicapai terlebih dahulu apabila seorang kapitalis hendak masuk ke tahapan mendapatkan laba. Karena, di puncak produksi itulah komoditas telah dihasilkan seperti yang direncanakan.

Kedua, laba akan didapatkan ketika komoditas yang dihasilkan kemudian diterima atau dikonsumsi khalayak (konsumen). Hukum dasar ekonomi menetapkan bahwa laba hanya akan bisa diperoleh jika target penjualan atau konsumsi komoditas--yang dihasilkan pada puncak produksi--tercapai. Ada proses yang harus dilalui untuk mencapai jenjang puncak itu, dan di dalamnyalah kapital dikeluarkan. Dan setelah puncak tercapai, proses diulangi terus-menerus (reproduksi).


Namun berkat perkembangan teknologi, ditambah makin berkembangnya hasrat untuk menjadikan segala hal menjadi penghasil laba, kapitalis akhirnya coba mendobrak hukum dasar tersebut dengan logika baru: bukan hanya dari penjualan komoditas, laba juga bisa didapatkan di dalam proses penciptaan komoditas. Dia tidak hanya sedang berusaha mencapai laba di puncak kerjanya, tetapi juga mengubah proses kerja itu menjadi penghasil laba.

Jika mengikuti hukum dasar tradisional (laba hanya diperoleh setelah komoditas dipasarkan) tersebut, penyelenggara kontes bernyanyi--yang menampilkan penyanyi-penyanyi baru prospektif--hanya akan mendapatkan keuntungan seusai kontes, ketika lagu atau album kontestan pemenang masuk ke pasar. Hasil baru dituai di puncak proses yang harus dicapai dalam tidak singkat. Karena kegilaannya pada profit, kapitalis tidak mau menunggu selama itu. Lantas ia mulai berpikir untuk membuat proses penyeleksian itu dapat mendatangkan laba. Proses kerja kemudian bukan lagi semata menjadi proses, tetapi telah berubah menjadi tahapan meraup laba pula. Bahkan ketika proses itu lebih banyak mendatangkan keuntungan daripada hasil penjualan, ia kemudian dapat dianggap sebagai puncak produksi.

Kapitalis bisa pula hanya terdorong untuk mengejar laba dari proses yang profitable itu dan tidak terlalu mengupayakan produk yang dihasilkannya dikonsumsi khalayak. Yang terjadi adalah produksi proses, bukan produksi produk. Kontes bukan hanya dijadikan tahapan untuk keperluan industri musik, tapi kini malah menjadi industrinya.

Maka, tak perlu heran mengapa kemudian karier pemenang kontes tidak meriah, seperti kontes yang dimenanginya. Pasalnya dalam kontes ia telah dibuat “merosot ke level komoditas” (istilah Marx) sebelum menghasilkan komoditas (karya). Inilah konsekuensi dari profitisasi proses. Di masa-masa mendatang, ini bisa menjadi “modus produksi baru” yang berlaku di berbagai lini bisnis lainnya (misalnya, orang yang sedang merakit sebuah teknologi unik malah lebih mengejar keuntungan dari penjualan video tutorial yang berisi proses perakitan tersebut, bukan penjualan rakitannya).

Juri-Massa dan Distorsi Kualitas
Bagaimana proses penyeleksian dalam kontes itu dapat mendatangkan laba? Selain dari pemasang iklan, keuntungan disedot dengan mengajak publik menjadi “juri” kontes. Penyelenggara akan menggunakan metode polling SMS dan para juri-massa ini diberitahu bahwa mereka punya peluang untuk membuat idolanya tidak tersingkir.

Setiap SMS yang Anda kirim tidak hanya menguntungkan penyedia layanan komunikasi. Tentu ada bagi hasil dengan penyelenggara kontes dan juga mungkin dengan beberapa pihak lainnya. Sebenarnya sudah ada sejumlah artikel yang coba mengulas bagaimana bagi hasil dilakukan dan berapa jumlah keuntungan yang diperoleh masing-masing pihak berdasarkan persentase yang telah disepakati. Namun para penulis artikel-artikel tersebut mengaku tak bisa mengatakan jumlah konkretnya; mereka hanya mengira-ngira tanpa bisa menunjukkan angka pasti.

Di sini saya pun hanya bisa membuat hitung-hitungan spekulatif. Katakanlah penyelenggara berhak atas 10 persen dari Rp 2.200 (biaya per SMS). Berarti mereka akan mendapatkan Rp 220 dari setiap SMS. Jika pada satu malam acara ada 6 juta pengirim SMS, maka penyelengara berhak atas Rp 2,2 miliar.

Keuntungan ini pasti kalah besar dengan keuntungan dari iklan. Mungkin saja pendapatan dari bagi hasil biaya SMS hanya menyumbang lima atau enam persen dari total keuntungan yang diterima penyelenggara, sehingga mereka bisa mengatakan “itu tidak ada apa-apanya” untuk Rp 2,2 miliar. 

Jika memang para pengirim SMS menjadi penentu keberadaan kontestan di dalam kontes, akan terjadi distorsi dalam penilaian kualitas kontestan. Kualitas kontestan kemudian bukan lagi menjadi pertimbangan utama. Saya telah memerhatikan, kebanyakan orang mengirim SMS dukungan bukan atas dasar penilaian objektif. Salah satu pertimbangannya sentimen kedaerahan. Dan mereka biasanya akan membela diri dengan mengatakan bahwa kontestan dari daerah asalnya memang yang paling berkualitas. Faktanya, predikat superlatif itu hanya akan diberikan oleh setiap orang kepada kontestan yang mewakili daerahnya sendiri saja.

Setelah tampil, para kontestan biasanya diberi kesempatan untuk meminta dukungan kepada publik agar mengirim SMS sebanyak mungkin. Terutama sekali dukungan tersebut tentu saja diminta pada orang-orang dari daerahnya sendiri. Di situ mereka biasanya menyebut nama-nama orang yang memiliki kemampuan ekonomi kuat, seperti gubernur, bupati, atau pengusaha. Maka sekalipun seseorang dari daerah A lebih menikmati kemampuan kontestan dari daerah B, dia akan tetap mendukung orang sedaerah yang kualitasnya secara objektif berada di bawah kompetitor dari daerah B.

Lagi pula, jumlah SMS dari juri-massa ini tidak bisa dipakai sebagai patokan untuk mengafirmasi kualitas konsestan karena satu orang bisa mengirim lebih dari satu SMS. Katakanlah kontestan A memiliki pendukung 40 orang dan kontestan B sebanyak 15 orang. Namun dalam metode polling, di mana satu orang dapat mengirim SMS berkali-kali, bisa saja kontestan B yang menang. Misalnya, ia mendapatkan 75 SMS karena masing-masing dari 15 orang itu mengirim 5 SMS. Sementara kontestan B tersingkir karena dari total 40 orang pendukungnya hanya terkumpul 50 SMS. Jadi polling ini ditentukan oleh kemampuan kapital orang-orang yang mendukung kontestan. Yang penting bukan “semakin ramai pendukung semakin bagus”, tetapi “semakin ramai yang mau mengeluarkan lebih banyak uang semakin bagus”.

Orang yang mau menyumbang kapitalnya menjadi kapital kontestan, dan kapital kontestan adalah laba kapitalis-penyelenggara. Jadi, uanglah yang menentukan dalam metode polling ini. Konsekuensinya, pemilik “kualitas” tertinggi adalah ia yang berteman atau didukung oleh siapa yang bersedia menghabiskan biaya dukungan lebih besar.

Setiap kontestan sebenarnya memiliki substansi keberadaannya di dalam kontes, yakni kemampuan seni. Mereka memiliki arti berkat bakat keseniannya itu. Tapi dalam kontes yang menggunakan metode polling, kontestan tak lagi dinilai atas kepemilikan substansi tersebut, karena pada dasarnya para pendukung bukan mendukung pilihannya dengan melihat itu. Akibatnya, substansi kehilangan tempat utamanya. Terjadi restrukturisasi urutan kriteria penilaian, yakni dinaikkannya pertimbangan nonkualitas ke urutan pertama dan diturunkannya telaah atas kualitas aktual ke bawahnya. Bahkan jika dengan membuat publik betul-betul menyingkirkan penilaian objektifnya bisa lebih menghasilkan keuntungan lebih banyak, kapitalis-penyelenggara tak sungkan melakukannya. Caranya dengan menggembar-gemborkan kepada publik bahwa kontestan di atas panggung adalah “identitas” dari masing-masing komunitas.

Contoh ungkapan yang digunakan: “Dia adalah kebanggaan daerah Anda. Jangan sampai tersingkir”. Dan setiap komunitas pasti akan melindungi habis-habisan apa pun yang telah dianggap sebagai bagian dari identitasnya. Ini sebenarnya sama saja dengan mengosongkan kontestan dari kualitasnya. Ia menjadi tidak lagi dihargai kemampuannya. Dan karena kemampuan tersebut adalah bagian inheren darinya, berarti ia pun sebenarnya sedang tidak dihargai oleh jutaan orang yang sedang larut dalam hasrat memberi dukungan kepadanya.

Kapitalisme menyubordinasikan rasionalitas massa, membuat orang-orang mabuk dalam gempita pertarungan menunjukkan kemampuan mengeluarkan kapital di ruang publik. Penyingkiran rasionalitas itu harus dilakukan agar sasaran tak sadar sedang dikuras sehingga dapat mendatangkan lebih banyak laba.

Tidak berhenti di situ, penyelenggara kontes yang menangkap kondisi psikologis massa tersebut kemudian menemukan peluang untuk meraih nilai lebih. Caranya dengan memanggil kembali kontestan yang telah tersingkir, tetapi dinilai prospektif untuk meraih laba lebih besar. Pemanggilan kembali ini dilakukan dengan cara-cara tertentu. Para pendukung kontestan tersebut kemudian bangkit kembali untuk memberi dukungan secara lebih besar dari sebelumnya. Durasi kontes pun menjadi lebih panjang. Ini seperti upaya meraup nilai-lebih dalam produksi komoditas di pabrik-pabrik dengan memperpanjang jam kerja para buruh, tetapi tetap mengupah mereka secara konstan atau sebanyak upah dalam jam kerja normal.

Kebohongan?
Metode polling dapat menghasilkan pemenang yang tidak berbakat. Apabila hal tersebut terjadi, sudah tentu penyelenggara, terutama para juri, merasa malu. Mereka akan jadi sasaran cemooh. Publik akan menganggap mereka mandul. Kehadirannya tidak lebih dari sebagai pemberi komentar, bukan penentu. Orang-orang pun bisa kehilangan minat pada kontesnya. Untuk mencegah itu, para juri yang berpengalaman dan profesional itu harus diberi wewenang sebagai penentu pemenang. Mereka akan berembuk di belakang layar untuk menentukan siapa yang bertahan dan siapa yang tersingkir. Dengan metode ini, besar kemungkinan kontestan yang menang adalah pemilik kualitas terbaik.

Lalu, jika memang juri yang berwewenang, untuk apa publik mengirim SMS? Dengan menetapkan wewenang penyeleksian sepenuhnya berada pada juri yang sedikit (misalnya empat orang) itu, tetapi juga mengatakan kepada publik bahwa SMS dari mereka menentukan eksistensi kontestan, berarti sebuah kebohongan besar telah dilakukan. Jutaan orang telah dikuras dan tertipu. Mereka telah dijadikan mesin penyemprot uang.

Karena kapitalisme menghadirkan dampak yang buruk bagi manusia sehingga harus dilawan, lantas bagaimana melawan metode polling yang penuh kebohongan itu? Kita mungkin tidak berdaya mendesak agar kontes seperti itu dihapuskan. Namun bukankah kita berdaulat atas kehendak diri? Betul. Maka, berhentilah mengirim SMS! Semakin banyak yang tidak mau mengirim, semakin sedikit keuntungan yang diterima kapitalis-penyelenggara. Dengan demikian “jumlah total nilai lebih yang dihasilkan merosot secara berbanding lurus dengan jumlah kapital yang dikeluarkan”. Akhirnya “tingkat laba pun jatuh”. Semakin merosotnya laba yang diperoleh dari sistem polling menandakan semakin besar perlawanan publik terhadap muslihat praktik kapitalisme tersebut. Dan menolak ikut polling ini juga sebagai bentuk apresiasi Anda terhadap kontestan yang didukung, juga secara umum mengapresiasi manusia yang mengapresiasi seni dengan mengekspresikannya di atas panggung kontes.

Dalam memperlakukan kesenian, kapitalisme memang jahat sekali. Dia menyediakan metode seleksi kualitas yang tidak menghargai seniman. Meski seniman memiliki bobot, arti, dan kelayakan, tapi kapitalisme membuat itu semua seolah tak ada nilainya. Karena inti dari setiap hal yang diselenggarakannya adalah uang. Jika seseorang membuat seratus hal yang paling dihargai setiap kapitalis, ia akan mengisi “uang” dari nomor satu hingga seratus.

Dan seandainya Marx ikut kontes bernyanyi seperti itu dan diminta untuk merayu orang-orang agar mengirim SMS setelah menunjukkan suara emasnya, dia pasti akan berkata,“Apa-apaan ini? Ini kontes sampah. Kita semua sedang dibodohi segelintir orang tamak. Kalian, para pekerja, sudah dieksploitasi dalam pabrik, sekarang dieksploitasi lagi di luar pabrik, di dalam kontes ini. Sekarang pulang dan bersihkan otakmu!”

Lalu, Marx membanting mikrofon dan berjalan meninggalkan panggung sambil menendang meja di depannya.[beritasatu.com]
Diberdayakan oleh Blogger.