Dari Diskusi Pembunuh Ketujuh
edisi cetak Harian Serambi Indonesia, Minggu, 19 Maret 2017 | @kitabmaop |
Dalam kajian sastra citra umumnya dipakai sebagai sarana untuk melihat bagaimana teks mempengaruhi cara pandang pembaca sekaligus membuat pembaca menjadi sadar pada saat yang sama. Tapi berbeda dengan citra, imagologi adalah gambaran yang hadir di luar kontrol pembaca, hasil dari konstruksi budaya, sosial dan politik, yang memasuki alam bawah sadar kita sehari hari, seperti iklan di televisi atau baliho para politisi yang tersenyum di mana seolah olah mereka tersenyum karena mereka ramah kepada kita. Tapi ternyata penampakan gigi putih hasil sotosop itu untuk dana aspiras yang akan meerka tuai setiap tahunnya.
Pendapat di atas saya simpulkan dari pembicaraan Jabbar Sabir, dosen Fakultas Syariah UIN Ar-Raniry, pada diskusi bedah buku sastrawan Herman RN, 23 Februari 2017 di Banda Aceh. Tahun lalu
Jabbar mencontohkan, akibat akan ada semacam permainan perasaan bagi pembaca, ketika membaca kisah seorang gadis yang hendak dicambuk, di mana tokoh utama dalam cerita ini pikirannya berkecamuk. "Di sini saya menangkap,"tambah Jabbar, "yang jadi pelajaran bagi kita, bahwa mengungkapkan hal hal seperti ini tidak mudah. Penulis harus memadukan keahliannya penulisannya."
Diskusi yang diselenggarakan Bandar Publishing yang menerbitkan buku ini dan Bandar Institute, juga menghadirkan sastrawan Azhari Aiyub sebagai pembicara. Azhari membedah buku ini dengan memulainya darisebuah asumsi. Mengapa manusia menulis cerita? Tentu, menurutnya, kalau pendengar setuju bahwa umur cerita sudah setua ummat manusia. Selama ribuan tahun ada ketidakpuasan manusia terhadap kenyataan sehari hari. Untuk itu manusia membutuhkan bentuk lain untuk bisa bertahan dari kenyataan tersebut. Azhari memberikan contoh, upaya itu misalnya terlihat dari usaha menyatukan antara manusia dengan dunia jin.
Dalam salah salah satu kisah paling tua di dunia, Cerita 1001 Malam, terlihat hampir tidak ada lagi batas antara dunia jin dan dunia manusia. Sementar sehari hari kedua dunia ini hampir tidak bisa disatukan. Jin disebut sebagai musuh abadi manusia dan permusuhan itu akan berlangsung sampai hari kiamat. Tapi dalam kisah yang dikarang pada masa Khalifah Harun al Rasyid tersebut, jin bisa jadi kawan manusia sekaligus musuh.
Tapi persamaannya adalah dalam kisah itu, jin selalu punya peran penting dalam mendorong wacana tentang kemanusiaan. Tapi menurut Azhari, sastra seharusnya tidak lagi beradap tataran wacana, melainkan berada pada lapisan berikutnya. Jika sastra berhasil melepaskan diri dari jebakan ini, ambisi untuk menjelaskna segala hal dan menjaga segala hal, maka pengarang akan menjadi sedikit lebih santai, tidak lagi harus terbebani dengan penilaian benar atau salah.
Selain itu, dalam beda buku dihadiri oleh sekitar 40 orang tersebut, Azhari setuju dengan Jabbar, bahwa tokoh tokoh kumcer Pembunuh Ketujuh terkesan berusaha mempermainkan wacana. Problemnya, hampir rata rata tokoh dalam kumcer ini adalah orang asing yang memasuki suatu persoalan orang lain karena mereka ingin dan nekat.
Tapi problem ini berhasil diatasi pengarang dengan licin, karena pepiawaiannya menggerakkan cerita dan mengatur plot. Dia berhasil mengkoordinasikan unsur unsur yang membentuk sebuah cerita [Serambi Indonesia, Minggu, 19 Maret 2017]
*Muhadzdzier M. Salda, bergiat di Komunitas Kanot Bu dan Pengurus Dewan Kesenian Banda Aceh.