Kohler dan Hilangnya Identitas Aceh
PeusanganNews - RUNTUHNYA sebuah bangsa umumnya dimulai dari penaklukan oleh bangsa lain. Ini juga berlaku bagi Aceh. Keruntuhan Kerajaan Aceh dimulai dengan maklumat perang oleh Belanda medio 1873. Sejak itu Aceh mengalami kemunduran yang luar biasa.
Aceh bukan hanya kehilangan kemerdekaannya, tapi juga kehilangan identitas dirinya. Sampai sekarang Aceh masih dalam pancaroba. Lage boh trueng lam ji'e. Aceh hampir tidak punya entitas dan identitas yang sewujud. Aceh dalam kegamangan. Persoalan kebangsaan belum selesai di Aceh.
Antara kegemilangan masa lalu yang menghasilkan mbong, dengan realitas saat ini bahwa kita hidup di bawah NKRI. ?Pohon Kohler atau kisah kematian Kohler menjadi dua dimensi yang berbeda. Banyak pihak melihat pohon itu sebagai bukti kegemilangan prajurit Aceh di masa lalu.
Benarkah begitu? Apakah itu prestasi hebat? Ataukah kematian Kohler tonggak awal keruntuhan Aceh?
Sejarah kadang untuk dikenang sebagai penutup luka. Menciptakan dimensi cerita yang bisa menutupi kekalahan atau duka kita. Maka pohon Kohler pun bisa dilihat sebagai dimensi dua sisi.
Pertama itu penanda runtuhnya imperium Aceh. Kedua bahwa Belanda tidak mendapatkan Aceh dengan mudah. Perang Aceh memang diakui sebagai perang terhebat, terlama dan termahal sepanjang sejarah kolonial Belanda. Itu terjadi tentu karena orang Aceh bukan sembarang orang. Belanda menghadapi sebuah bangsa yang tangguh.
Namun apapun itu kita tetaplah bangsa yang kalah. Aceh tetaplah kemudian jatuh dalam penguasaan Belanda. Walaupun mereka tidak pernah tenang.
Kemudian pasca penjajahan, Aceh memilih bergabung dengan Indonesia. Tentu ini tak lepas karena perasaan sesama anak jajahan Belanda. Kini sudah 70 tahun kita bersama. Itupun sepanjang waktu tidak pernah tanpa riak, bahkan hingga kini.
Hubungan Aceh dengan Jakarta tetap kurang mesra. Ini tentu tak lepas dari rasa beda dan rasa lebih dalam jiwa orang Aceh.
Penebangan pohon Kohler juga harus dilihat dari dimensi itu. Mungkin saja si pemberi perintah pemotongan ingin menghapus kenangan buruk atas kekalahan bangsanya. Kemudian dia ingin membangun kegemilangan baru.
Orang atau organisasi si pemberi perintah melihat pohon itu sebagai kehinaan atas kekalahan nenek moyangnya. Dan pembangun Masjid Raya dicita-citakan menjadi landmark atau simbol kejayaan Aceh baru.? Ingin menutup keburukan masa lalu dengan kejayaan baru.
Namun apakah kita melihat kisah sesederhana itu? Sejarah dimanapun di dunia ini selalu dilestarikan. Sepahit atau sengeri apapun kisah masa lalu itu, maka pemotongan pohon itu bukti birokrat kita berpikir hanya sebatas melihat, merasa dan meraba. Mereka tidak punya pertimbangan apapun selain hanya mengacu pada capaian.
Saat proyek ini direncanakan. Mereka tidak menghitung nilai pohon dan tugu di situ. Yang merek pikirkan bagaimana proyek mercusuar itu sukses dilaksanakan. Kita heran dengan perencana proyek itu. Proyek sebesar itu ternyata tanpa melalui uji publik.
Apapun kisah tentang Kohler itu adalah sejarahnya Aceh. Seharusnya situs itu dijaga dan dipelihara. Betapa buruknya pola pikir insinyur kita. Betapa mereka hanya menjadi pekerja tanpa visi. Mereka seperti robot atau komputer. Yang hanya tahu menerima perintah dan menjalankannya.
Bagaimana mungkin pohon dan situs itu diganggu untuk proyek. Kita tidak habis pikir tentang jalan pikiran mereka. Siapapun yang terlibat dalam lahirnya DED atau masterplant mega proyek ini adalah orang dungu dan bodoh. Mereka gagal paham. Pikiran mereka seperti kata orang "pruet saho ngon po".
Hanya berpikir sebatas menciptakan proyek. Makanya pembangunan infrastruktur kita selalu tambal sulam dan bongkar pasang. Sebab direncanakan oleh orang dungu. Lihat betapa banyak proyek mubazir dibangun sejak masa BRR sampai sekarang. Kenapa begitu? Sebab mereka bukan membangun negeri. Tapi menciptakan proyek untuk menghabiskan anggaran.
Lihat saja terminal atau pasar seantero Aceh. Kasus perusakan situs Kohler benar-benar menunjukkan birokrat kita kosong otaknya. Mereka adalah hanya gerombolan parasit. Maka patutlah masyarakat melihat birokrasi dengan segala keburukannya.
Seharusnyalah kini kita kembali membangun kesadaran baru. Bahwa baik buruknya sejarah kita harus dilestarikan. Rakyat tidak boleh hanya berharap pada pemerintah yang diisi orang dungu. Beberapa waktu ini banyak aktivis peduli sejarah bergerak. Menyelamatkan makam-makam kuno atau situs sejarah lain.
Lucunya pemerintah Aceh yang berlimpah uang lupa menjaga ini. Bahkan Dinas terkait tidak peduli. Mereka lebih sibuk menyenangkan sang tuannya, daripada bekerja menyelamatkan Aceh atau melaksankan tugas dengan benar. Maka patutlah Aceh seperti saat ini. Merasa hebat tapi minus identitas. Masya Allah.[portalsatu.com]