Kutablang; Kota Ada Blang
Menulis tentang Kutablang -satu dari 17
Saya bisa disebut �terpaksa- menulis tentang kehebohan warga di
Selebihnya hanya bagian penting saya yang sejak umur 2 tahun sudah diajak serta ke sawah, hingga masa dewasa tiba, saya bisa tau dan paham tatacara menaman padi sejak seumula hingga keumeukoh. Turun ke sawah bukan barang asing bagi kehidupan saya.
Tentu, tak ada yang bisa dibanggakan dengan profesi sebagai petani tradisional ini, sebab itu bukan pekerjaan penting meluluhkan hati para gadis manis manja anggun dengan jilbab aduhai dan mendapat restu dari calon calon ayah-ibu mertua yang bersedia menikahi anaknya dengan pemuda yang hidup sebagai petani.
Beberapa hari belakangan ini, Kutablang jadi heboh di media sosial karena sebaran foto warganet tentang pemandangan "padi dadakan" menghijau di pinggir jalan nasional. Aksi yang tak lazim. Biasanya warga yang marah dengan kerusakan jalan, menanam pohon pisang di tengah badan jalan, dengan tulisan kritik di karton sebagai bentuk protes atas kelalaian pemerintah dalam memperbaiki jalan raya.
Ini kritik secara simbolik kepada aparatur pemerintah, agar pajak yang selalu dibayar oleh warga bisa digunakan untuk kepentingan ummat banyak, dalam pembangunan fasilitas publik yang memadai dan layak.
Pemandangan warga menaman padi di pinggir jalan atau pisang di tengah badan jalan, bukan hal baru bentuk protes masyarakat. Warga sudah lelah dengan kondisi itu, akhirnya ya mereka protes agar para pengguna jalan yang kebetulan melintas jadi objek perhatian mata yang tak menyenangkan. Selebihnya agar para pihak yang punya kepentingan untuk memperbaiki bisa tau diri atas nasib jalan publik.
Sawah di pinggir jalan tak bisa melulu dianggap sebagai hal yang negatif. Tanaman "padi dadakan" tentu saja bisa dilihat dari sisi postifinya juga. Dari penanaman padi di pinggir jalan itu, akibat lahan sawah yang kerap dialihfungsikan ke lahan bangunan, akhirnya warga tidak ada lagi sawah, lalu menanam padi di pinggir jalan nasional.
Ini juga bisa kita sebut, warga
Warga tak mau tau, kalau jalan itu di bawah tanggung jawab pemerintah provinsi atau kabupaten atau pemerintah pusat. Yang mereka rasakan dan ingin sampaikan bahwa, jalan itu mesti diperbaiki dan tidak lagi berlumpur. Hingga bisa digunakan kembali seperti fungsi jalan yang sebenarnya. Apalagi mengingat, jumlah warga yang melintas jalan itu cukup ramai.
Kutablang kini setidaknya bisa dikenal oleh masyarakat lain yang tak bermukin di sana, selain kuliner khasnya tentu saja kota yang ada blang di pinggir jalannya. Dalam hal ini, Kecamatan Kutablang dengan luas lahan sawah beratus hektare harus terus mendapat perhatian pemerintah untuk terus membantu warga yang umumnya bekerja sebagai petani.
Di belakang Kedai Kutablang, ada lahan rawa raksasa Paya Nie yang tak difungsikan dengan baik untuk mengairi sawah warga sekitar. Padahal jika pemerintah serius membangun lahan pertanian ini salah satu alasan penting membangun waduk ini bisa menjadi tempat penyimpanan air yang bisa mengairi ratusan hektar sawah di kecamatan ini.
Di
Kembali lagi ke soal sawah dadakan di pinggir jalan Kutablang. Pemandangan sawah tak lazim itu mengundang perhatian Wakil Ketua DPRA, Sulaiman Abda yang kebetulan melintas dan sedang berada di Bireuen? Tentu saja harapan kita, sebagai pengguna jalan, respon cepat dari salah satu pimpinan DPR Aceh ini bisa ditindaklanjuti segera oleh dinas terkait baik ditingkat provinsi atau kabupaten.
Kalaupun tidak, maka kita tunggu saja, padi yang baru ditanam tersebut bisa tumbuh subur dengan pupuk subsidi hingga masa panen tiba nantinya, tunggu saja akan diundang oleh warga para jajaran pemerintah untuk hadir dan memanen padi tersebut secara bersama-sama. Inilah Kutablang, kota yang benar-benar ada blangnya. [sumber: ACEHTREND.COM]