Hoax Berjamaah
Muhadzdzier M. Salda*
[sumber: acehkita.com, selasa 7 februari 2017]
Adakah yang bisa mengalahkan kecepatan cahaya di dunia ini? Ada. Kecepatan jempol manusia pengguna telepon pintar yang sebarkan berita bohong alias hoax di media sosial.
Di kalangan masyarakat Aceh, pembawa kabar hoax bisa disebut sebagai lalat mirah rhueng. Manusia yang mempunyai sifat suka menyebarkan kabar buruk kepada orang lain, hingga terjadi saling adu domba sesama ummat.
Setiap ada peristiwa atau berita terbaru yang sedang banyak dibahas pengguna media sosial di Indonesia, tak boleh serta-merta dipercaya begitu saja. Kita mesti cek dan ricek untuk memastikan kebenaran, tak sembarang membagikan tautan berita tersebut, diselingi kata �mohon sebarkan� dan atau kata �dari grup sebelah�.
Saya percaya bahwa padatnya pengguna media sosial seiring dengan banyaknya produsen peristiwa kabar bohong untuk saling menghasut dan ujaran kebencian antar-sesama. Pengguna media sosial yang tinggi membuat para berkepentingan untuk terus memproduksi berita bohong, saling fitnah dan penuh caci maki.
Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) merilis hasil survei yang dilakukan pada 2016 menyebutkan 132 juta lebih yang mengakses internet di Indonesia. Artinya, lebih dari setengah penduduk Indonesia; 256 jiwa.
APJII menyebutkan, pengguna internet paling banyak diakses melalui telepon pintar layar lunak. Ini tentu sesuai dengan fakta, di mana orang menggunakan telepon pintar yang selalu terhubung ke internet.
Saya mengasumsikan telepon genggam saya dengan berbagai akun media sosial yang saya gunakan, betapa banyak informasi bohong tersebar dan ditemukan dengan mudah di telepon pintar saya.
Bayangkan, jika telepon itu diperas maka yang keluar adalah linggis, senjata, bom, lendir, dan segala cacian atas nama hewan tertentu. Segala makian kepada orang tertentu dan kabar burung dan buruk lainnya.
Padatnya pengguna internet dengan mudah mengakses melalui telepon pintar tak beriringan dengan pengguna yang pintar dalam memilih dan memilah satu kabar berita tertentu. Jika dulu berlaku peribahasa: mulutmu harimaumu, maka sekarang berubah menjadi: jempolmu harimaumu.
Jempol latah demikian mudah membagikan kabar fitnah dan suatu kebohongan lewat akun media sosial yang ia miliki. Pengguna telepon pintar tak selamanya menjadi pintar. Dulu kita harus mencari informasi dengan susah payah. Tetapi, sekarangi tsunami informasi membuat kita harus pintar memilih dan memilah mana yang pantas dan layak dipercaya sebagai sebuah fakta atas suatu kejadian perkara.
Banyaknya situs media siber yang mencari keuntungan dengan target rating tinggi dari pengguna media sosial untuk disebarkan, orang-orang tidak tahu bagaimana kerja-kerja mendapatkan puluhan ribu dolar setiap bulan atas iklan yang diklik oleh pembaca, yang dibayar oleh google adsense.
Jikapun pemerintah telah sepakat menutup situs-situs (terduga) berita bohong, hal itu tidak bisa dicegah dengan mudah. Sebab lebih mudah lagi membuat situs berita sekarang ini. Hanya bermodalkan segelas kopi dan akses internet yang cepat di warung berwifi, kabar bohong langsung mudah disebarkan.
Kita mesti menganalisa berbagai isi konten berita media jurnalistik; baik media siber/maya/online atau cetak untuk mengetahui setiap pemberitaan dengan tema yang sedang viral. Harus banyak membaca berbagai informasi media, sebab tiap media tentu punya sudut pandang pemberitaan sesuai kepentingan masing masing dari pemilik modal atau kepentingan bisnis sang tuannya.
Menjelang pemilihan kepala daerah, media siber berkepentingan dengan setiap judul berita yang akan mereka sebarkan. Tergantung pada kemana arah tujuan �sang pemilik� media untuk menyukseskan sang kandidat yang mereka dukung dan usung diam-diam.
Opini mengarah pada kepentingan politik tertentu tak bisa diabaikan. Saling serang dan rebut lahan pemilih untuk sebuah citra baik sang kandidat yang mereka dukung. Tentu saja ada yang sampai menghantam lawan dalam pertarungan politik jadi isu cukup menarik.
Arus informasi tiap detik peristiwa yang terjadi ke hadapan pengguna layar lunak cukup mudah, semisal anda sedang buang hajat sekalipun. Saat di kakus, anda bisa membaca berita jurnalistik atau terduga berita jurnalistik baik tulisan dan video dengan mudah, bisa mengakses internet demikian cepat tanpa ada hambatan kecuali quota internet anda yang terbatas.
Berita yang anda baca kadang harus dialirkan begitu saja, seiring dengan aliran air bercampur kotoran yang anda buang dengan penuh lega dari balik lubang yang berdekat dengan poros nikmat itu. Kini bagi yang merasa pintar dan merasa bodoh, bagi anda pengguna telpon cerdas dalam memilih dan memilah berita itu selayak dan sepantas mana kabar itu berefek jika dibagikan kepada publik luas.
Sebab, zaman media sosial ini, �masuk surga� saja cukup mudah; tinggal klik �like� dan katakan �amin� saja. Kalimat ini paling sering terjebak para pengguna dengan sebarkan ke beranda mereka.
Kalian yang membaca tulisan ini sampai selesai akan kecewa, sebagai informasi saya menulis ini saat sedang buang hajat di kakus di sebuah warkop yang tak boleh disebut namanya di kawasan Banda Aceh.
Tetapi yang harus diingat, saat omongan tidak bisa dipegang, percayalah bahwa status media sosial bisa di-capture dan disebarkan. Sudah sekian banyak kasus-kasus yang terjerat UU ITE di Indonesia.
Berhati-hatilah dalam gunakan jempol, jika tidak penting, berhentilah menjadi kaum penyebar berita hoax, berhentilah jadi kaum hoax berjamaah.[]
*Penulis adalah pergiat di Komunitas Kanotbu dan bekerja sebagai penjual buku keliling di Banda Aceh.